Pages

Sinampura yening kawentenan iwang, ngiring tureksan lan melajah sareng-sareng

Thursday 11 April 2013

Teori Konstruktivisme


A. Pendahuluan
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Satu cara untuk mendapatkan intisari pandangan konstruktivisme adalah membahas dua bentuknya, yaitu konstruktivisme individu dan sosial.

1. Konstruktivisme Individu

Pandangan ini fokus pada kehidupan “inner psikologi” manusia, yakni mengartikan sesuatu dengan menggunakan pengatahuan dan keyakinannya secara individu. Pengetahuan disusun dengan mentransformasikan, mengorganisasi, dan mereorganisasikan pengetahuan yang sebelumnya. Pengetahuan bukan merupakan cermin dari luar, walaupun pengalaman mempengaruhi pemikiran, dan pemikiran mempengaruhi pengetahuan.

Eksplorasi dan penemuan, jauh lebih penting dari pengajaran. Piaget menekankan pada hal-hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan yang tidak bias secara langsung dipelajari dari lingkungan. Pengetahuan muncul dari merefleksikan dan menghubungkan kognisi atau pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi, tapi dia tidak meyakini bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam mengubah pikiran.

2. Konstruktivisme Sosial

Vgotsky meyakini, bahwa interaksi sosial, unsur-unsur budaya, dan aktivitasnya adalah yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu. Atau dengan kata lain, pengetahuan disusun berdasarkan interaksi sosial dalam konteks sosialbudayanya. Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keyakinan, interaksi antar sesama, pengajaran klasikal, dan role modeling.

Penemuan yang terencana, pengajaran, model dan pelatihan, seperti juga pengetahuan, keyakinan dan pemikiran siswa, mempengaruhi pembelajaran. Vygotsky juga dianggap sebagai konstruktivis sosial, sekaligus individu. Yang pertama, disebabkan teorinya sangat bergantung kepada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan pembelajaran. Beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai konstruktivis individu, karena ketertarikannya dalam pengembangan individu.

B. DIMENSI-DIMENSI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

1. Lingkungan Belajar yang Kompleks dan Tugas-tugas Otentik

Siswa tidak boleh diberikan bagian-bagian yang terpisah, penyederhanaan masalah, dan pengulangan keterampilan dasar, tetapi sebaliknya: siswa dihadapakan pada lingkungan belajar yang kompleks, terlihat samar-samar, dan masalah yang tidak beraturan.

Masalah-masalah yang kompleks itu harus dihubungkan pada aktivitas dan tugas yang otentik, karena keberagaman situasi yang siswa hadapi tersebut, seperti juga aplikasi yang mereka hadapi tentang dunia nyata.
2. Negosiasi Sosial

Tujuan utama pembelajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam membangun serta mempertahankan posisi mereka, dan disaat bersamaan menghormati posisi orang lain dan bekerjasama untuk berdiskusi atau membangun pengertian bersama-sama. Guna mnyelesaikan perpaduan ini, haruslah berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, proses mental ini melalui negosiasi sosial dan interaksi, sehingga kolaborasi dalam pembelajaran dapat dimungkinkan, yakni melahirkan sebuah sikap intersubyektif – sebuah komitmen untuk membangun keragaman pengertian dan menemukan kesamaan umum serta perpaduan penafsiran.

3. Keragaman Pandangan dan Representasi Bahasan

Acuan-acuan untuk pembelajaran harus sudah dapat memfasilitasi representasi beragam bahasan dengan menggunakan analogi contoh dan metafora yang berbeda. Peninjauan materi yang sama, pada waktu yang berbeda-beda dalam penyusunan kembali konteks untuk tujuan yang berbeda, dan dari pandangan konseptual yang berbeda adalah penting untuk mencapai tujuan kemampuan pengetahuan yang lebih maju.

4. Proses Konstruksi Pengetahuan

Pendekatan konstruktivisme mengedepankan untuk membuat siswa peduli pada peran mereka dalam membangun pengetahuan. Asumsinya adalah keyakinan dan pengalaman individu, membentuk apa yang dikenal sebagai dunia. Asumsi dan pengalaman berbeda, mengarahkan kepada pengetahuan yang berbeda pula. Apabila siswa peduli terhadap pengaruh-pengaruh yang membentuk pola pikir mereka, maka mereka akan lebih mampu untuk memilih, mengembangkan, dan memanfaatkan posisi dengan cara introspeksi diri, pada saat yang bersamaan menghormati posisi orang lain.

5. Pembelajaran Siswa Terhadap Kesadaran Dalam Belajar

Fokus dalam proses ini adalah menempatkan berbagai usaha siswa untuk memahami pembentukan pembelajaran dalam pendidikan. Kesadaran yang timbul pada diri siswa, bukan berarti guru melonggarkan tanggungjawabnya untuk memberikan pengarahan atau bimbingan.

C. PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

1. Discovery Learning

Dalam model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya. Pertama, guru mengidentifikasi kurikulum. Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan teka-teki, dan menguraikan berbagai permasalahan. Kedua, pertanyaan yang fokus harus dipilih untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan jawaban sementara (hipotesis). Ketiga, mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan, dan menguji hipotesis. Keempat, siswa membentuk konsep dan prinsip. Kelima, guru memandu proses berfikir dan diskusi siswa, untuk mengambil keputusan. Keenam, merefleksikan pada masalah nyata dan mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah.

Proses ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan masalah, mengevaluasi solusi, dan berfikir logis.

1. Pembelajaran Berbasis Masalah

Dalam model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang bermakna untuk mereka. Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis masalah adalah menyangkut masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara mereka untuk menyelesaikan masalah. Pertama, guru memotivasi diri siswa, dan mengarahkannya kepada permasalahan. Kedua, guru membantu siswa dengan memberi petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk belajar dengan membuat kelompok kerja.

Ketiga, guru menyemangati siswa untuk mencari lebih banyak literatur, melakukan percobaan, membuat penjelasan untuk menemukan solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan penyelidikkan. Keempat, kelompok kerja siswa mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan dibantu guru dalam mendiskusikannya. Kelima, kelompok kerja siswa menganalisis, dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Pada bagian ini pula, guru membantu siswa dalam merefleksikannya.

Pada model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya. Mereka bersama-sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara, guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata.

Tidak ada satupun teori tunggal konstruktivisme, begitupula tidak ada satu-satunya model pembelajaran sebagai penerapan konstruktivisme. Walaupun demikian banyak dari kaum konstruktivis, merekomendasikan kepada pendidik bahwa :

1. Pembelajaran melekat dalam lingkungan belajar yang kompleks, realistis, dan relevan.
2. Menyediakan negosiasi sosial, dan tanggungjawab bersama sebagai bagian dari pembelajaran.
3. Mendukung pandangan beragam dan menggunakan representasi yang juga beragam terhadap isi yang dipelajari.
4. Meningkatkan kesadaran diri dan pengertian bahwa pengetahuan itu dibangun, dan
5. Mendorong kesadaran dalam pembelajaran.

Teori Sastra



Lahan atau objek kajian dalam penelitian kesusastraan sesungguhnya begitu berlimpah. Barangkali juga, selama manusia memerlukan sastra, selama itu pula terbuka peluang bagi sesiapa pun untuk melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan keberadaan sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.
Pertama, penelitian sastra meliputi cakupan yang begitu luas dan beragam. Dilihat dari rentang pembagian batas waktunya, penelitian sastra dapat melalui penelusuran secara paradigmatik, atau karya-karya yang sezaman dengan penelusuran secara sinkronik. Baik penelusuran secara paradigmatik, maupun sinkronik, mencakupi penelitian terhadap sastra tradisional –sastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.
Kedua, penelitian sastra berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat dari ragamnya, penelitian sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa –novel dan cerpen—, drama, dan esai kritik. Begitu juga perkara yang menyangkut media yang digunakannya: buku, majalah, suratkabar, atau naskah-naskah yang ditulis tangan, sebagaimana yang dilakukan para penulis naskah-naskah lama.
Ketiga, penelitian sastra berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah selesai, mengingat sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dilihat dari objek kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks sastra yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati. Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri. Resepsi pembaca tentang karya sastra yang sezaman (sinkronis) dan yang tidak sezaman sesuai perkembangannya (diakronik) dapat pula menjadi lahan penelitian.
Keempat, penelitian sastra dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan apa pun yang berhubungan dengan perjalanan dan perkembangan sastra. Sejarah kesusastraan dengan berbagai masalahnya, berikut gejolak masyarakatnya, juga dapat menjadi lahan garapan penelitian sastra. Dilihat dari kelahiran dan perjalanannya, penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah karya atau sejumlah karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh memusatkan perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya dalam rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah satu karya sastra dalam konteks sejarahnya.
Kelima, penelitian sastra dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteksnya. Dilihat dari sistem sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya, penerbit –termasuk media massa— sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya itu lahir dan menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca kritis atau kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam bidang sastra dengan berbagai aspeknya.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan faktor lain lebih panjang, seperti soal sastra lisan, pengalihan atau pengangkatan bentuk karya sastra ke bidang seni lain, seperti film atau drama, atau juga persoalan yang menyangkut karya-karya terjemahan. Dalam hal ini, keseluruhan penelitian itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah teknisnya disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam pengertian itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.
Langkah apa saja yang perlu dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah satu aspek kesusastraan yang begitu berlimpah itu. Bagaimana pula kita dapat dengan mudah memilih dan menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu, apanya yang akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu, sungguh begitu luas dan berlimpah.
***
Penelitian sastra secara akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada sejumlah syarat dan prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah mensyaratkan pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang sering menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau salah dua) pendekatan —dari sejumlah pendekatan yang ada— yang dapat kita pandang tepat dan pas sebagai alat analisisnya.
Sejumlah hal itulah yang –barangkali—membuat kita –belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan teori dan metodologi, tanpa merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri yang justru hendak dijadikan objek atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu pula yang membawa dunia akademis terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif terhadap teori dan metodologi, tetapi acapkali atau bahkan cenderung mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah salah satu problem penelitian sastra di lingkungan dunia akademi.
***
Sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan kalangan akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menggairahkan penelitian sastra, eloklah kita mencermati dahulu bagan berikut ini:
Description: penelitian sastra



1.      DEVENISI DAN BATASAN SASTRA

a.       Sastra dan Study Study Sastra
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra juga merupakan cabag ilmu pengetahuan. Study sastra memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walaupun tidask selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sewdangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnyabersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus. Study sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
b.      Sifat-sifat Sastra
Salah satu batsan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuan lain, study sastra bukan hanya berkaitan erat, tetapi identik dengan sejarah kebudayaan. Istilah sastra dapat diterapkan pada seni satra, yaitu sastra sebagaikarya imajinatif. Bahsa adalah bahan baku dari sastra sebagai medianya  dan bahs itu sendiri bukan benda mati seperti batu, melainkan ciptaan manusia dan mempunyai muatan budaya danlinguistic dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Bahasa ilmiahcenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis. Sedngkan bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim dengan kata lain adalah basa sastra sangat konotatif.
c.       Fungsi Sastra
Edgar Allan poe melontarkan sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Menurut sejumlah teoritikus, fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Mengekpresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu.
d.      Teori, Keritik, dan Sejarah Sastra
Dalam wilayah studi sastra perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Yuang pertama-tama perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Antara teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Teori sastra adalah study prinsip, katagori, dan cerita yang ada pada sastra itu sendiri. Kritik sastra adalah study karya-karya konkret (pendekatan statis). Dan sejarah sastra adalah mempelajari dan menyatukan sejarah sastra masakini dan masa lampau.

e.       Sastra Umum, Sastra bandingan, dan Sastra Nasional
Istilah sastra perbandingan dalam prakteknyamenyangkut bidang study dan masalah lain. Pertama dipakai untuk study sastra lisan, kedua mencakup study hubungan antara dua kesusastran atau lebih, dan yang ke tiga sastra bandingan disamaka dengan study sastra menyeluruh. Sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastran atau lebih. Sastra umum mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sastra nasional menurut penguasaan bahasa asing dan keberanianuntuk menyisihkan rasa kedaeahan yang sulit dihilangkan.


2.      PENELITIAN PENDAHULUAN

a.       Memilih dan Menyusun naskah
Salah satu kegiatan ilmuan adalah mengumpulkan naskah yang akan dipelajarinya, memulihkan dari dampak waktu, dan meneliti identitas pengarang, ke aslian, tahun penciptaan. Dan semua ini adalah kegiatan persiapan. Ada dua tingkat kegiatan persiapan dalam  memilih naskah:
·         Menyusun dan menyiapkan naskah.
·         Menentukan urutan karya menurut waktu penciptaan, memeriksa keaslian, memastikan pengarang naskah, meneliti karya kerjasama dan karya yang sudah diperbaiki oleh pengarang dan penerbit.
Dan ada 5 kegiatan menyusun naskah:
·         Menyusun naskah dan mengumpulkan naskah dalam bentuk manuskrip atau cetakan.
·         Membuat katalog atau keterangan bliografi.
·         Proses editing.
·         Proses menetapkan silsilah teks berbeda dengan kritik teks.
·         Koreksi teks.


3.      STUDY SASTRA DNGAN PENDEKATAN EKTRINSIK

a.       Sastra dan biografi
Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri yakni sang pengarang. Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menlusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya.dan dapat juga dianggap sebagai study yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Permasalahan penulisan biografi adalah permasalahan sejarah. Penulisan biografi harus menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan dan pernyatan otbiografis.


4.      SISTEM PENGARANG

       Pengarang dalam sistem sastra makro ditempatkan tidak lebih penting dari pembaca. Harus diakui, bahwa lahir dan hidupnya dunia kesusastraan dimungkinkan oleh keberadaan pengarang. Jadi, meskipun pengarang yang memungkinkan lahirnya karya sastra, dalam konteks sistem sastra, ia diperlakukan sama pentingnya dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam menghidupkan keberadaan dunia sastra. Pengarang sebagai kreator, penghasil karya sastra, di zaman modern ini, harus mendasari kemampuannya tidak lagi ada bakat alam, talenta, melainkan juga pada intelektualitas. Seorang pengarang modern, mutlak harus mempunyai kemampuan menciptakan sebuah dunia; dunia yang dibangunnya lewat bahasa. Kemampuan ini tentu saja akan berkutat pada dunia yang itu-itu saja, jika ia juga tidak meluaskan cakrawala pengetahuannya. Dengan demikian, seorang pengarang modern dituntut mempunyai pengetahuan yang luas, agar ia terus berkarya dan tidak kehabisan bahan.
Persoalan itu, dalam sistem pengarang, akan membawa seorang peneliti menelusuri lebih jauh pada latar belakang pendidikan pengarang, kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya, lingkungan masyarakat, profesi kepengarangannya, ideologi yang dianut, dan masalah patronase (pengayoman). Jika kita hendak mempersempit masalahnya dan menghubungkannya dengan karya sastra (teks) yang dihasilkannya, maka kita dapat melakukan penelitian mengenai
·         pengarang dan karya-karyanya dengan fokus pada salah satu karyanya,
·         latar belakang pendidikan pengarang dan hubungannya dengan teks yang dihasilkannya,
·         kecenderungan pengarang tertentu –atau sejumlah pengarang—dalam satu komunitas sosial,
·         kecenderungan pengarang tertentu dalam hubungannya dengan kultur masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya,
·         kepengarangan sebagai sebuah profesi,
·         masalah ideologi pengarang dalam kaitannya dengan teks yang dihasilkannya,
·         teks dalam hubungannya dengan sistem pengayoman.
Sesungguhnya, penelitian mengenai persoalan tersebut di atas, termasuk ke dalam tema-tema umum yang masih mungkin dikerucutkan lebih tajam lagi. Gambaran tersebut sekadar hendak menegaskan, bahwa dari satu aspek saja –sistem pengarang—kita dapat melakukan berbagai macam penelitian sastra.


5.      SISTEM PENERBIT

           Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Dalam pengertian ini, di dalamnya termasuk media massa (majalah dan suratkabar) yang juga berperan sama. Dalam hubungannya dengan teks sastra, penerbit dan media massa sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu (ideologi, ekonomi). Oleh karena itu, di dalam proses penerbitan atau publikasi sebuah karya sastra, tidak terhindarkan adanya pihak lain yang terlibat dalam proses produksi atau reproduksi karya. Dalam hubungan itulah, keterlibatan pihak-pihak itu, seringkali ikut mempengaruhi struktur formal karya.
Hal lain yang berkaitan dengan sistem penerbit menyangkut persoalan distribusi dan penyebaran karya. Penerbit besar atau media massa nasional yang punya jaringan luas dalam soal distribusi akan lain pengaruhnya dibandingkan dengan penerbit swadaya atau media massa lokal. Dalam hal ini, tentu saja tugas peneliti menjadi sangat penting dalam usaha membuat pemetaan konstelasi kesusastraan sebuah komunitas.
Penelitian lain yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem penerbit, berurusan dengan beberapa hal berikut:
·         ideologi dan kepentingan penerbit,
·         peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra,
·         sistem pengayoman yang dilakukan penerbit,
·         faktor sosial-politik-ekonomi yang mempengaruhi penerbit,
·         jaringan distribusi, dan
·          sasaran pembaca.
Dalam hubungan itu, keberadaan dan peranan penerbit dan media massa penting artinya dalam penelitian sastra, baik yang bersifat sinkronis, maupun diakronis.

6.      SISTEM PEMBACA

          Dalam sistem sastra makro, tidak dibedakan antara penikmat atau pembaca biasa, pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus (: peneliti). Ronald Tanaka menempatkan pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus ini dalam sistem kritik. Meski demikian, keberadaan pembaca dalam sistem ini tetap dianggap penting, karena dalam banyak hal, pembaca sering kali ikut mempengaruhi situasi dan kondisi kehidupan kesusastraan. Jadi, keberadaan pembaca tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka tak jarang, justru menjadi bahan pertimbangan pengarang dan penerbit. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis dengan sasaran pembaca tertentu, tidak hanya memaksa dan menyeret pengarang untuk mempertimbangkan masalah di luar teks, tetapi juga memaksa penerbit melakukan semacam kompromi, khasnya dengan pengarang. Akibat kompromi itulah, pengarang sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Memperbaiki, bahkan mengubah teks sejalan dengan keinginan penerbit yang berorientasi pada (selera) pembaca. Karya sastra populer –yang menekankan pada pemanjaan selera pembaca—dan sastra propaganda –yang berorientasi pada tujuan mempengaruhi ideologi pembaca— misalnya, merupakan contoh kasus ini.
Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem pembaca ini, beberapa di antaranya, menyangkut: (a) latar belakang dan kultur pembaca, (b) usia dan jenis kelamin pembaca, (c) pendidikan dan ideologi pembaca, (d) pemaknaan sebuah teks yang ditentukan oleh penguasaan (i) konvensi bahasa, (ii) konvensi budaya, (iii) konvensi sastra, dan (e) penerimaan pembaca terhadap sebuah teks (resepsi sastra) dalam kurun waktu yang sezaman (sinkronis) dan dalam rentang waktu tertentu (diakronis).

 
7.      SISTEM KRITIK

          Praktik kritik sastra yang membicarakan sebuah karya, penelitian serius terhadap karya sastra, seperti makalah ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, atau esai dan resensi buku sastra yang dimuat media massa, merupakan salah satu bahan penelitian yang termasuk ke dalam sistem kritik. Karya-karya itu merupakan pandangan kritikus atau pembaca ahli. Di Indonesia para penulis kritik ini datang dari latar belakang pendidikan yang heterogen. Sesiapa pun yang merasa mempunyai kemampuan untuk menulis kritik dan tulisan-tulisan kritiknya telah banyak dipublikasikan, sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai kritikus. Masyarakat pendukung kesusastraan itu sendiri cenderung tidak memasalahkan latar belakang pendidikan penulis kritik. Oleh karena itu, kritik sastra di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu kritik akademis dan kritik umum.
Dalam kritik sastra akademis yang sering juga disebut kritik ilmiah, penekanan pada apresiasi mesti didukung oleh alasan yang dapat  dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, objektivitas  atas nilai yang dikemukakan,          menjadi landasan. Artinya, ia mesti dapat diterima berdasarkan ketentuan ilmiah; persyaratan atau teori tertentu yang di dunia akademis, mutlak perlu karena tuntutannya memang demikian.  Sementara itu, dalam kritik umum, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia ilmiah, mungkin saja tidak dianggap penting. Oleh karena itu, kerangka teoretis dan metodologi yang di dalam kritik akademis sangat penting, dalam kritik umum justru sering diabaikan. Hampir semua media massa (majalah dan suratkabar) lebih menyukai memuat kritik umum daripada kritik akademis. Masalahnya, kritik umum ditulis dalam bahasa yang sangat cair yang memungkinkan dapat dipahami oleh berbagai macam kalangan masyarakat.
Penelitian sastra yang berkaitan dengan sistem kritik ini, menyangkut beberapa hal berikut ini: (a) jenis media yang memuat tulisan kritik, (b) latar belakang pendidikan kritikus, (c) profesi penulis kritik, (d) ideologi yang dianut, (e) model penilaian yang digunakan, yaitu (i) penilaian absolut, (ii) relatif, (iii) perspektif.

devinisi singkat sekar madya



SEKAR MADYA
Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam prosesi upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa (seperti pada Sekar Alit atau pupuh). Di dalamnya adalah pembagian-pembagian pada tubuh tembang tersebut, diantaranya :
Pangawit = yang merupakan bagian pembukaan
Pangawak = yang merupakan bagian yang pendek
Panama = merupakan bagian yang panjang
Pangawak = bagian utama dari tembang tersebut.
Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi teks kidung ini kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini bisa dilihat dari struktur komposisinya yang terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panama dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.
Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog Saih Pitu (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/ tengahan.
Modulasi yaitu perubahan tangga nada ditengah-tengah lagu sangat banyak dipergunakan. Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain: Aji Kembang, Dewaruci, Wargasari, Pamancangah, dan lain-lain.
Ini beberapa lirik dari kidung, yakni Kidung Wargasari:
  1. Ida Ratu saking luhur, kawula nunas lugrane, mangda sampun titiang tandruh, mangayat Bhatara mangkin, titiang ngaturang pejati, canang suci lan daksina, sarwa sampun puput, pratingkahing saji.
  2. Asep menyan majagau. Cendana nuhur dewane, Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit. Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko. Ancangan sadulur, sami pada ngiring.
Bisa dilihat, Kidung Wargasari ini adalah kidung pemujaan di mana para pemujanya tengah menghaturkan persembahan seperti pejati, daksina, canang... dengan harapan agar para Bhatara menerima persembahan mereka.
Selain kidung,ada juga jenis tembang lain yang bisa digolongkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni Wilet dengan jenis-jenisnya meliputi Mayura, Jayendria, Silih-asih, dan lain sebagainya.
fungsi kidung:
  1. Pada upacara Dewa Yadnya di tembangkan kidung:
    • Tatkala nuntun Ida Bhatara: Kawitan Wargasari, Wargasari;
    • tatkala muspa: Mredu Komala, Totaka;
    • tatkala nunas tirta: wargasari;
    • tatkala nyineb: warga sirang.
  2. Untuk Rsi Yadnya digunakan: Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara Sangupati, Palu Gangsa.
    Untuk Diksa digunakan Rara Wangi.
  3. Untuk Manusa Yadnya:
    • Upacara Raja Swala: Demung sawit,
    • Upacara metatah: Kawitan Tantri, Demung Sawit;
    • Upacara mapetik: Malat Rasmi,
    • Upacara pawiwahan: Tunjung Biru.
  4. Untuk upacara Pitra Yadnya:
    • nedunang/ nyiramang layon: Sewana Girisa, Bala Ugu.
    • Untuk memargi ke setra: Indra Wangsa.
    • Untuk mengurug kuburan (gegumuk): Adri.
    • Untuk Ngeseng sawa: Praharsini;
    • untuk Ngereka abu: Aji Kembang;
    • untuk nganyut abu ke segara: Sikarini, Asti;
    • Untuk Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.
  5. Untuk Bhuta Yadnya: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, Swaran Kumbang.
  6. Untuk upacara pelantikan pejabat: Perigel.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan tulisan huruf Bali. Tulisan ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah di modifikasi untuk keperluan menetapkan irama dan tekanan (stressing), terutama pada kakawin: apada, wrtta matra, guru laghu, gana matra, canda karana, guru bhasa, guru lambuk dan purwa kanti.
Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang keras, karena kidung dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi puja-mantra, dari pemimpin upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras, sehingga suara gentha Sulinggih tidak terdengar. Mestinya para pelantun kidung berada dekat dengan Sulinggih sehingga mengetahui apa yang sedang dilakukan Sulinggih, lalu memilih kidung apa yang tepat. Jangan sampai Sulinggihnya muput caru, lalu kidungnya wargasari.

Entri Populer